Senin, 26 Agustus 2013

A Brief


Why the hell was At The Table built?

Ide membangun At The Table muncul pada awal Desember 2012. Dimulai dari bincang-bincang ringan antara dua penggagasnya, ide tersebut akhirnya berujung pada kesepakatan di antara keduanya untuk melakukan sebuah market survey. Pertanyaan besar dalam survey tersebut adalah seberapa besar daya serap pasar terhadap industri rumah makan di Yogyakarta. Dalam survey tadi, konsep rumah makan yang didambakan oleh pasar menjadi pertanyaan turunan yang penting.

Jika sejarah adalah hari ini, maka cuisine industry di Yogyakarta harus segera mencari kalimat penutup dan menulis cerita baru. Pasar bosan dengan menu-menu yang monoton dan terus berulang. Industri ini harus makin terus menggali kreatifitas karena konsumen hari ini sudah dilabeli dengan embel-embel smart. Semakin banyak chef yang memasak di layar kaca membuat segalanya menjadi mudah. Kini segala sesuatu dapat dibuat di rumah. Homemade! Jika setiap orang dapat membuat homemade recipe di rumah mereka masing-masing, maka industri ini akan menuju pusaranya. Cepat atau lambat

If consumers are smart then producers should be the smartest. At The Table menghadirkan apa yang tidak dapat ditemukan di rumah! To produce marvelous comfort food and to create a cozy environment that is well suited to have great conversations are the two identities of At The Table. Dua identitas tadi mengerucut pada casual dining concept.

Casual dining menjadi antitesis fine dining yang kaku dan tidak terjamah oleh pasar Yogyakarta. Di kota pelajar ini memang mulai tumbuh banyak rumah makan yang mengusung konsep fine dining. Namun, fakta tadi ternyata berhenti pada titik yang disebut ‘katanya’. Konsep itu diusung secara tidak bertanggung jawab karena ketidakjujuran pelaku industri. Produk dan pelayanan yang diberikan kepada pasar tidak sederajat dengan konsep yang mereka usung, di sisi lain harga yang mereka patok berada pada level tertinggi. Essay ini tidak memungkiri bahwa terdapat beberapa producer di kota ini yang berhasil mengejawantahkan fine dining dengan sangat baik.

At The Table lekat dengan moderately-price food dan dining without formality. Affordable price akan sesuai dengan dompet konsumen At The Table yang utamanya berusia dari rentang 18-24 tahun. Perlu diingat, kelas menengah akan terus bertumbuh di Indonesia. The Economist pernah menulis bahwa the number of Indonesia’s bourgeoisie could reach almost 150 million people by 2014, representing one of the world's most enticing market.

Suasana nyaman yang At The Table ciptakan dapat dilihat sebagai semiotika contemporer youth culture. Contemporer karena At The Table berpijak pada apa yang tumbuh dan berkembang pada masa ini. At The Table ingin meninggalkan memori tentang a casual evening with friends pada para konsumennya. Perbincangan yang hangat di meja makan adalah intisari dari apa yang diproduksi oleh At The Table. Belajar dari apa yang Cafe Procope pernah hadirkan  di jantung kota Paris pada dekade 1686, siapa bisa menebak bahwa akan lahir Napoleon atau J.J. Rousseau dari bincang-bincang hangat di meja makan.
That’s why it’s called At The Table!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar