Kamis, 09 Januari 2014

Forest Calling - A Solo Exhibition by Imam Arifin Al Jani

Sebuah Penghantar 

“Terlalu lelah membicarakan tentang kerusakan hutan dan isinya yang tergusur. Mereka butuh perpanjangan lisan agar tetap ada. Maka, saya mencoba membicarakannya dengan media pena dan kopi yang terangkum dalam serial gambar. Semoga bisa ‘didengar’ dan diteruskan dalam bentuk kepedulian.” – Imam Arifin Al Jani

Segala yang hebat tentang negara-bangsa ini sepertinya hanya terjadi di buku-buku sejarah. Begitu pula dengan cerita tentang sumbangsih Kalimantan menjadi paru-paru bagi bumi. Klaim yang keburu terlaksana dan tinggal tetap di literatur lama. Generasi kekinian tidak memiliki kesempatan membuktikan kehebatan itu. Paru-paru bumi itu kini teronggok dan bolong. Si empunya terengah-engah berpenyakit. Para ahli mendeteksi dan menyebutnya efek rumah kaca.

Kalimantan tercatat sebagai pulau terbesar ketiga di dunia. Hutannya pun membentang sangat luas, tidak kurang dari 40,8 juta hektar. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengakui keberadaan hutan di Kalimantan tidak hanya penting bagi masyarakat lokal dan perekonomian dalam negeri Indonesia saja, tapi juga bagi kepentingan lingkungan secara global. Hutan hujan tropis Kalimantan menyimpan kekayaan keanekaragaman hayati (biodiversitas) yang begitu besar. Tidak sedikit satwa dan flora endemik yang mendiami lahan ini.

Berbagai klaim besar dan adidaya tadi kini harus kita hadapi dengan biasa saja. Fakta di lapangan berbisik sebuah kenyataan yang dapat membuat kita menyeritkan dahi. Laporan Greenpeace—sebuah lembaga non-government organization—menyebut bahwa hutan Kalimantan hanya tersisa 25,5 juta hektar saja di tahun 2010 lalu. Pada periode tersebut Kalimantan mengalami deforestasi sebanyak 673 hektar setiap harinya. Guiness Book of The Record bahkan pernah menganugerahi Indonseia sebagai negara yang laju kerusakan hutannya tercepat di dunia. Anugerah yang menghujam sampai ke ulu hati!

Tudingan lalu mengarah kepada industri kepala sawit. Kementerian Pertanian dalam laporannya tahun 2010 mengalkulasi luas perkebunan sawit di Kalimantan seluas 2,8 juta hektar. Data yang bisa disanggah dan diragukan dengan metode keilmuan dan kejujuran hati yang lain! Negara ini kemudian berjuang untuk masuk dalam skema Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+). Skema ini memberikan kesempatan bagi negara berkembang seperti Indonesia untuk memperoleh dana kompensasi dari negara maju sebagai komitmen mengurangi dampak emisi karbon mereka.

Kompensasi mengalir ke kantong kas negara. Dalam waktu yang bersamaan, hutan hujan tropis Kalimantan terus ‘dijual’, dibakar, digunduli, kemudian ditanami bibit sawit. Pada Tahun 2012 lalu, anugerah Adiwarta kategori foto jurnalistik terbaik diberikan kepada Jessica Helena atas fotonya yang berjudul “Evakuasi Orang Utan Sekarat”. Dalam foto tersebut, seekor orang utan meringkuk kepanasan setelah mencoba melarikan diri dari sebuah hutan yang terbakar. Foto tersebut menjadi semiotik tentang kondisi satwa di Kalimantan. April tahun lalu, populasi orangutan diperkirakan turun hingga 80%. Rusaknya habitat menjadi faktor yang paling determinan tanpa mengesampingkan perilaku masyarakat yang buta terhadap konsep kelestarian dan animal welfare.

Imam adalah salah seorang veterinerian yang memberikan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk mencoba peduli terhadap fakta-fakta di atas. Ia bergabung dengan Centre of Orangutan Protection untuk tidak mencari citra diri. Investigasi, rescue dan kampanye menjadi tiang perjuangan kelompok ini, selain mendesak kementerian kehutanan dan beragam asosiasi pengusaha kepala sawit untuk menghentikan aktivitas mereka yang menghancurkan peradaban kecil di hutan Kalimantan.

Situasi hutan Kalimantan telah begitu hiruk-pikuk dengan keterlibatan banyak tangan yang melakukan klaim kepedulian. Banyak orang telah mengeluarkan gagasan-gagasan besar dan hebat. Perusakan hutan tetap terjadi. Orangutan satu per satu menunggu mati. Melalui serial gambar ini, Imam mengajak kita untuk mengambil satu langkah kecil yang biasa saja. Mendengungkan isu ini sehingga gendang telinga orang-orang besar di sana bergetar. Atau paling tidak, menumbuhkan kepedulian kita atas kepedihan di hutan hujan tropis Kalimantan.

Abraham Utama – At The Table Diner


Senin, 26 Agustus 2013

A Brief


Why the hell was At The Table built?

Ide membangun At The Table muncul pada awal Desember 2012. Dimulai dari bincang-bincang ringan antara dua penggagasnya, ide tersebut akhirnya berujung pada kesepakatan di antara keduanya untuk melakukan sebuah market survey. Pertanyaan besar dalam survey tersebut adalah seberapa besar daya serap pasar terhadap industri rumah makan di Yogyakarta. Dalam survey tadi, konsep rumah makan yang didambakan oleh pasar menjadi pertanyaan turunan yang penting.

Jika sejarah adalah hari ini, maka cuisine industry di Yogyakarta harus segera mencari kalimat penutup dan menulis cerita baru. Pasar bosan dengan menu-menu yang monoton dan terus berulang. Industri ini harus makin terus menggali kreatifitas karena konsumen hari ini sudah dilabeli dengan embel-embel smart. Semakin banyak chef yang memasak di layar kaca membuat segalanya menjadi mudah. Kini segala sesuatu dapat dibuat di rumah. Homemade! Jika setiap orang dapat membuat homemade recipe di rumah mereka masing-masing, maka industri ini akan menuju pusaranya. Cepat atau lambat

If consumers are smart then producers should be the smartest. At The Table menghadirkan apa yang tidak dapat ditemukan di rumah! To produce marvelous comfort food and to create a cozy environment that is well suited to have great conversations are the two identities of At The Table. Dua identitas tadi mengerucut pada casual dining concept.

Casual dining menjadi antitesis fine dining yang kaku dan tidak terjamah oleh pasar Yogyakarta. Di kota pelajar ini memang mulai tumbuh banyak rumah makan yang mengusung konsep fine dining. Namun, fakta tadi ternyata berhenti pada titik yang disebut ‘katanya’. Konsep itu diusung secara tidak bertanggung jawab karena ketidakjujuran pelaku industri. Produk dan pelayanan yang diberikan kepada pasar tidak sederajat dengan konsep yang mereka usung, di sisi lain harga yang mereka patok berada pada level tertinggi. Essay ini tidak memungkiri bahwa terdapat beberapa producer di kota ini yang berhasil mengejawantahkan fine dining dengan sangat baik.

At The Table lekat dengan moderately-price food dan dining without formality. Affordable price akan sesuai dengan dompet konsumen At The Table yang utamanya berusia dari rentang 18-24 tahun. Perlu diingat, kelas menengah akan terus bertumbuh di Indonesia. The Economist pernah menulis bahwa the number of Indonesia’s bourgeoisie could reach almost 150 million people by 2014, representing one of the world's most enticing market.

Suasana nyaman yang At The Table ciptakan dapat dilihat sebagai semiotika contemporer youth culture. Contemporer karena At The Table berpijak pada apa yang tumbuh dan berkembang pada masa ini. At The Table ingin meninggalkan memori tentang a casual evening with friends pada para konsumennya. Perbincangan yang hangat di meja makan adalah intisari dari apa yang diproduksi oleh At The Table. Belajar dari apa yang Cafe Procope pernah hadirkan  di jantung kota Paris pada dekade 1686, siapa bisa menebak bahwa akan lahir Napoleon atau J.J. Rousseau dari bincang-bincang hangat di meja makan.
That’s why it’s called At The Table!